FEATURE : GAMOLAN, ANTARA TRADISI DAN AMBISI

Aku Revan, seorang konten kreator dari wilayah paling utara Lampung, aku dari Mesuji. Namaku sudah cukup dikenal, followers di media sosial pun telah menembus ribuan. Setiap hari aku harus membagikan potongan rutinitas pagi, secangkir kopi, lalu aktivitas harian yang kukemas rapi dalam gaya ala daily vlog. Tentu terlihat selalu sibuk dan ceria, namun ada satu hal yang tak pernah bisa kutolak sejak awal memilih jalan ini, yaitu kehabisan ide. Menjadi kreator adalah soal konsistensi, tapi tak jarang juga soal bertarung dengan kekosongan. Dan kini, kekosongan itu tak hanya menjangkiti pikiranku, tapi juga merayap ke dalam semangatku. Aku merasa benar-benar kehilangan cara berfikir. Otak ini seolah lumpuh, tak lagi bisa memikirkan konten baru yang bisa menghidupkan linimasa. 

Di saat seperti itu, inspirasi justru datang dari hal yang nyaris kuabaikan. Aku seketika teringat, tadi malam kakak mengajakku menonton sebuah pentas seni yang diadakan di balai desa. Awalnya aku hanya mengangguk setengah hati, mengira itu akan menjadi malam biasa yang kulalui dengan senyum palsu dan ponsel yang tak enyah dari tangan. Namun saat matahari mulai tenggelam dan langit berubah jingga, suara “vroom, vroom” dari motor kakak menandai penjemputan. Kami berangkat, melewati jalan kecil yang dihiasi lampu temaram dan suara jangkrik yang bersahut-sahutan. Tak terbiasa ramai, namun kali ini balai desa terlihat lebih riuh dari biasanya. Anak-anak berlarian, orang tua berbincang, dan suara tawa mengisi udara malam yang hangat. Ketika tirai panggung mulai terbuka, mata kami langsung tertuju pada barisan alat musik yang ditata rapi di atas panggung. 

Ada satu alat musik yang mencuri perhatianku, terlihat asing dan antik. Bilah-bilah bambunya berjajar, seolah menyimpan rahasia masa lalu yang sangat ingin dihidupkan kembali. Aku mendekatkan mulutku ke telinga kakak dan berbisik dengan rasa penasaran. “Itu alat musik apa, Kak?” “Ini tuh namanya gamolan.” Jawabnya singkat namun sarat makna. “Itu alat musik tradisional dari Lampung. Dulu, sering dipakai untuk mengiringi tari-tarian adat.” Aku menatap gamolan itu dengan hasrat baru untuk memahami denting-denting kisah dibalik setiap nadanya. Alat musik itu mulai dimainkan, mengalun lembut melatari tari ‘sigeh pengunten’, salah satu tarian penyambut tamu agung dari Lampung. Suara gamolan mengisi ruangan, seperti gema kenangan yang halus, menyentuh hingga ke relung jiwa. Dentingnya syahdu, seolah terasa menggetarkan diam yang hinggap dalam diriku. Penonton terdiam, terpaku, mati kata. Tak sedikit dari mereka yang menahan napas, seolah tak ingin mengusik keindahan yang sedang terjadi. Aku pun begitu. Bahkan sampai lupa untuk merekam sebagai konten. 

Malam itu, aku tak hanya menonton pertunjukan. Aku sadar bahwa denyut budaya kita perlahan-lahan nyaris terhapus dari ingatan. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa, aku harus melakukan sesuatu. Sesampainya di rumah, rasa terpesona itu belum juga pudar. “Besok, ajarin aku main gamolan ya.” Kataku pada kakak. Kakak tersenyum. Tak ada kata-kata, hanya anggukan. Aku tahu, ia mengerti bahwa malam ini bukan hanya aku yang menemukan kembali semangat tapi gamolan itu juga akhirnya mendapat harapan baru. “Besok, aku akan belajar bicara dengan cara lain dengan suara gamolan.” 

Pagi itu tak biasa. Biasanya, setelah subuh, aku kembali tenggelam dalam rutinitas digitalku seperti membuka notifikasi, mengecek insight, menjawab komentar yang datang sejak malam. Tapi kali ini, suara gamolan dari ruang depan menjadi alarm yang membangunkanku sepenuhnya. Kakak duduk bersila, jemarinya menari di atas bilah-bilah bambu itu. Aku menghampiri dengan rasa malu. Gengsi seorang konten kreator yang biasanya merekam orang lain kini harus belajar memainkan sesuatu yang belum pernah ia sentuh. Tapi kakak menyambutku dengan senyum. “Ayo Van, kita mulai dari dasar.” 

Seiring mentari yang datang dan pergi, tak pernah lelah aku melatih diri. Aku bergelut dengan nada, tangan mulai terasa berat, dan otak pun lambat mengikuti notasi. Pagi, siang, kadang malam. Kakak sabar mengajariku, walau mengulang notasi tabuh yang sama berpuluh-puluh kali. Kadang aku frustasi, kenapa sulit sekali membunyikan satu notasi tabuh dengan benar? Mengapa rasanya jari ini tak cocok menyentuh alat musik tradisional? “Karena ini bukan sekadar musik.” Kata kakak suatu malam, saat kami latihan di beranda rumah. “Gamolan ini jiwa. Kalau kamu cuma kejar konten viral, ya kamu gak bakal nyatu sama alat ini.” Perkataan itu menamparku. 

Selama ini aku sibuk mencari ide konten yang ramai, panjat sosial, yang bisa menaikkan angka. Tapi justru saat aku berhenti mengejar angka, dan mulai mendengarkan suara sekitar, inspirasi datang sendiri. Mungkin inilah pertama kalinya aku membuat konten bukan demi viral, tapi karena benar-benar ingin menyampaikan sesuatu.

Suatu siang, kuberanikan diri mengunggah potongan video latihan gamolan ke Instagram Story. “Pernah denger suara alat musik ini?” Tulisku. Hasilnya mengejutkan, lebih dari 70% menjawab “Belum pernah.” Banyak DM bermunculan, mulai dari “Keren banget, Kak!” Sampai “Itu alat musik dari mana?” Bahkan ada yang mengira itu alat dari Thailand atau Filipina. Aku merasa aneh, mengapa budaya kita sendiri asing di mata kita sendiri? 

Kubuat keputusan. Aku ingin tampil. Bukan sekadar tampil untuk konten, tapi untuk memperkenalkan gamolan, untuk membuat orang setidaknya tahu. Bahwa Lampung punya suara yang tak boleh hilang. Aku mengunggah undangan ke media sosial untuk mengajak pengikutku menyaksikan seorang konten kreator dengan deret budayanya. Pentas seni datang lebih cepat dari yang kupikirkan. Kali ini, bukan sebagai penonton, tapi namaku tercatat di dalam daftar pengisi acara. Di balik panggung, tanganku berkeringat. Kakak di sampingku, mengelus pelan bahuku. “Tenang, Van. Anggap aja gak ada yang nonton.” Aku mengangguk, meski hatiku risau. 

Lampu panggung menyorot ke arahku. Gamolan sudah di depan, duduk dengan tenangnya, seperti memintaku untuk tidak mengecewakannya. “Halo semuanya. Terima kasih sudah hadir malam ini. Saya bukan musisi, bukan seniman. Saya hanya seseorang yang kehabisan ide dan menemukan sesuatu yang sudah lama ada, tapi luput dari perhatian saya sendiri.” Penonton mulai memperhatikan serius. “Namanya Gamolan. Alat musik tradisional dari Lampung. Mungkin sebagian dari kalian belum pernah dengar. Tapi malam ini, saya ingin mengajak kalian mendengarnya. Bukan karena saya ahli, tapi karena saya yakin, kalau kita tidak memperkenalkan budaya kita sendiri, siapa lagi?” 

Aku mulai memainkan lagu sederhana, hasil latihan dengan kakak. Dentingnya pelan, lalu mengalun ritmis. Gamolan bergema dan berbicara. Penonton hening, beberapa mengambil ponsel untuk merekam, tapi kebanyakan hanya menatap dan mendengarkan. Di tengah lagu, pikiranku buyar. Terbayang video-video konten yang pernah kubuat. Kontenku yang selama ini hanya tentang makanan, rutinitas harian, liburan, dan candaan. Lalu kini? Di panggung sederhana, dengan alat musik kuno, aku merasakan sesuatu yang lebih kuat dari sekadar views. Lagu selesai, sorak dan tepuk tangan kudengar. 

Tapi bukan itu yang paling kuingat. Yang membekas adalah raut wajah penonton yang terlihat heran, kagum, dan penasaran. Banyak yang mendekat sesudah acara. “Apa tadi namanya?” “Dari Lampung ya?” “Boleh lihat gak?” Aku menjawab semuanya dengan senang hati. Rasanya seperti menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Setelah di rumah, aku membuka DM yang masuk. Seorang follower menulis… “Kak, aku orang Lampung juga. Baru tahu ada alat musik ini. Keren banget. Boleh gak nanti aku diajarin juga?” Mataku hangat. 

Malam itu, aku tidak tidur. Aku menulis di sticky notes. “Budaya itu bukan hal mati. Ia hidup lewat kita. Lewat tangan dan jiwa yang memainkannya, lewat lisan yang menyebut namanya, lewat video yang disebar bukan sekadar untuk viral, tapi untuk mengingat.” Dipetik dengan hati, dan didengar oleh jiwa yang siap mendengarkan.

Juara 1, cabang jurnalistik FLS3N Kabupaten Mesuji Tahun 2025
Model : Revan Fajar dan Heny Rohayati