Berita
- By Triwiek Yulinawati
- 24 Jan 2025
- 321
PEMENANG ATAU PECUNDANG
Matahari
memanasi bumi dengan suhunya yang menghangat. Aku juga merasakan tubuhku
menghangat karena keringat mulai membasahi punggungku. Susah payah aku
mendorong NMAX-ku. Motor besar itu kehabisan minyak ketika aku belum sampai
sekolah, padahal kios minyak masih
sekitar 400 meter lagi. “Uuuuuuh!” Aku bersungut-sungut kesal.
Mungkin
karena memang hari sudah siang, aku tak menemukan teman-teman yang melintas
berkendara. Mungkin semua sudah berangkat. Kalau ketemu teman paling nggak kan
bisa “stut”. Gara-gara semalam aku begadang nonton bola akhirnya aku bangun
kesiangan. Mau bolos sekolah, aku nggak berani.
Hari ini ada pelajaran Pak Bas.
Bisa tambah rumit kalau berurusan dengan guru kimiaku itu.
Setelah
mendorong motor kurang kebih 15 menit, akhirnya aku bisa ngacir menuju sekolah. Dan seperti
dugaanku, pintu gerbang sudah tertutup rapi jali, dengan gembok besar yang
hanya bisa dibuka oleh Pak Doni, satpam sekolahku.
“Lah,
mana orangnya nggak ada lagi.” Batinku
mengguman kesal.
Mungkin
lebih dari 10 menit aku menunggu, Pak Doni terlihat keluar kantor menuju gardu
jaganya. Aku bersiap-siap dengan akting terbaikku. “Ya Tuhan, semoga Pak Doni
Engkau berikan pencerahan.”
“Pak, Pak
Doni!” Aku berteriak memanggil nama Pak Doni.
Dengan
Langkah sangar, Pak Doni menghampiriku. Tanpa membuka gerbang dia memulai
menanyaiku.
“Ada
apa?” Tanyanya tak ramah.
“Pak
Doni, saya telat, tadi motor kehabisan minyak,
minta izin bisa masuk ya Pak.” Rayuku manis.
Pak Doni
menatapku dengan penuh selidik, sepertinya dia lagi mempelajari aktingku.
“Ini
sudah lebih dari 45 menit, sesuai peraturan siswa yang telat nggak boleh
masuk!” Pak Doni merespon datar permintaanku.
“Tolonglah
Pak, hari ini pelajaran Pak Bas, bisa kacau kalau sampai nggak bisa ikut
pelajarannya.” Kukerahkan segala cara untuk melunakkan hati Pak Doni.
“Ne, ne,
ne, nggak bisa!” Pak Doni tetap menolak permintaanku dengan cara menggoyang-goyangkan telunjukknya
kepadaku.
“Ayolah
Pak Doni, nanti waktu istirahat tak traktir, Pak Doni bisa makan apa aja di
kantin.” Aku masih gigih dengan usahaku.
“Sekali
nggak bisa ya nggak bisa, ini sudah jadi peraturan, dan saya ikuti peraturan
itu. Peraturan itu dibuat supaya kalian tertib, ngerti nggak!” Jawab Pak Doni
dengan intonasi yang mulai meninggi.
Nyaliku
ciut mendengar jawaban Pak Doni, tapi bayangan pelajaran kimia, bayangan Pak
Bas, membuat nyaliku kembali menyala untuk merayu Pak Doni.
“Ayolah Pak,
tolong sekali ini saja.” Kuberanikan diri untuk kembali merayu Pak Doni dengan
menyodorkan wajahku minta disantuni, eh minta dikasihani.
“Sudah
nggak usah setor-setor wajah memelas gitu, kalau sekali ini kamu dimaafkan,
seterusnya akan terus seperti itu, kamu tau kan bagaimana supaya besok nggak
telat lagi!” Pak Doni tetap kekeh tak mau memberikan kesempatanku untuk masuk.
Mendengar
penolakan itu, hatiku memanas. “Ah Pak
Doni payah, sok-sokan taat peraturan, cuma masalah sepele kayak gini aja
dibikin ribet!” Nyolot aku merespon sikap Pak Doni yang menurutku menyebalkan.
Pak Doni tidak menanggapi kalimatku. Dia hanya diam,
sambil memandangku dengan sorot mata yang tak kumengerti.
“Bukan Pak
Doni yang payah, tapi kamu. Bangun pagi aja nggak bisa, apalagi membangun masa
depan. Begitu mau jadi orang sukses. Mana bisa. Kamu selamanya akan jadi
pecundang. Sana pulang, bapak nggak pengen melihat wajah pecundang yang minta
dikasihani!”
Aw aw aw…
kalimat Pak Doni barusan benar-benar menyentak
hatiku. “Apakah aku pecundang?” Hatiku
bergemuruh hebat. Kuputar motorku
menjauhi gerbang sekolah. Kuarahkan tungganganku itu ke warung Pak Capek,
tempatku biasa nongkrong bersama teman-teman.
Warung itu
sepi. Tampak Pak Capek sedang mengatur dagangannya. Memasukkan minuman ke dalam
kulkas dan merapikan gorengan di atas meja. Melihat aku datang dengan wajah
kusut dia menyambutku ramah. “Kok nggak masuk Mas Aryo?” Tanyanya.
“Nggak
Pak, telat. Pak Doni nggak mau buka gerbang.” Kujawab pertanyaan Pak Capek
dengan lunglai.
“Besok
jangan sampai telat lagi Mas, Pak Doni itu orangnya tegas dan disiplin.”
“Alllah
Pak, kan cuma telat, masak segitunya sih, kayak nggak ada kerjaan aja.” Aku
tetap membela diri.
“Jangan
menganggap telat itu masalah sepele Mas. Nanti jadi kebiasaan. Dulu saya juga
begitu waktu sekolah. Suka telat, berantem,
nakal, akhirnya jadi seperti ini. Di usia
tua, saya masih harus bekerja. Hidup sendiri dan susah. Waktu muda sudah
terbuang dengan sia-sia. Sekarang mau apa coba. Kalau waktu muda saya belajar
dengan rajin, pasti saya jadi pemenang bukan pecundang seperti ini.”
Mendengar
keluh Pak Capek, hatiku kembali tersentak. Pecundang? Ada bilur-bilur rasa yang kemudian memenuhi
ruang hatiku. Hatiku membiru. Kuambil kunci motor dan kuarahkan motor pulang
ke rumah. Di sepanjang perjalanan aku dihadapkan dengan dua pilihan, jadi
pemenang atau pecundang.