PEMENANG ATAU PECUNDANG

Matahari memanasi bumi dengan suhunya yang menghangat. Aku juga merasakan tubuhku menghangat karena keringat mulai membasahi punggungku. Susah payah aku mendorong NMAX-ku. Motor besar itu kehabisan minyak ketika aku belum sampai sekolah, padahal kios minyak  masih sekitar 400 meter lagi. “Uuuuuuh!” Aku bersungut-sungut kesal.

Mungkin karena memang hari sudah siang, aku tak menemukan teman-teman yang melintas berkendara. Mungkin semua sudah berangkat. Kalau ketemu teman paling nggak kan bisa “stut”. Gara-gara semalam aku begadang nonton bola akhirnya aku bangun kesiangan. Mau bolos sekolah, aku nggak berani.  Hari  ini ada pelajaran Pak Bas. Bisa tambah rumit kalau berurusan dengan guru kimiaku itu.

Setelah mendorong motor kurang kebih 15 menit,  akhirnya aku bisa ngacir menuju sekolah. Dan seperti dugaanku, pintu gerbang sudah tertutup rapi jali, dengan gembok besar yang hanya bisa dibuka oleh Pak Doni, satpam sekolahku.

“Lah, mana  orangnya nggak ada lagi.” Batinku mengguman kesal.

Mungkin lebih dari 10 menit aku menunggu, Pak Doni terlihat keluar kantor menuju gardu jaganya. Aku bersiap-siap dengan akting terbaikku. “Ya Tuhan, semoga Pak Doni Engkau berikan pencerahan.”

“Pak, Pak Doni!” Aku berteriak memanggil nama Pak Doni.

Dengan Langkah sangar, Pak Doni menghampiriku. Tanpa membuka gerbang dia memulai menanyaiku.

“Ada apa?” Tanyanya tak ramah.

“Pak Doni, saya telat, tadi motor kehabisan minyak,  minta izin bisa masuk ya Pak.” Rayuku manis.

Pak Doni menatapku dengan penuh selidik, sepertinya dia lagi mempelajari aktingku.

“Ini sudah lebih dari 45 menit, sesuai peraturan siswa yang telat nggak boleh masuk!” Pak Doni merespon datar permintaanku.

“Tolonglah Pak, hari ini pelajaran Pak Bas, bisa kacau kalau sampai nggak bisa ikut pelajarannya.” Kukerahkan segala cara untuk melunakkan hati Pak Doni.

“Ne, ne, ne, nggak bisa!” Pak Doni tetap menolak permintaanku dengan  cara menggoyang-goyangkan telunjukknya kepadaku.

“Ayolah Pak Doni, nanti waktu istirahat tak traktir, Pak Doni bisa makan apa aja di kantin.” Aku masih gigih dengan usahaku.

“Sekali nggak bisa ya nggak bisa, ini sudah jadi peraturan, dan saya ikuti peraturan itu. Peraturan itu dibuat supaya kalian tertib, ngerti nggak!” Jawab Pak Doni dengan intonasi yang mulai meninggi.

Nyaliku ciut mendengar jawaban Pak Doni, tapi bayangan pelajaran kimia, bayangan Pak Bas, membuat nyaliku kembali menyala untuk merayu Pak Doni.

“Ayolah Pak, tolong sekali ini saja.” Kuberanikan diri untuk kembali merayu Pak Doni dengan menyodorkan wajahku minta disantuni, eh minta dikasihani.

“Sudah nggak usah setor-setor wajah memelas gitu, kalau sekali ini kamu dimaafkan, seterusnya akan terus seperti itu, kamu tau kan bagaimana supaya besok nggak telat lagi!” Pak Doni tetap kekeh tak mau memberikan kesempatanku untuk masuk.

Mendengar  penolakan itu, hatiku memanas. “Ah Pak Doni payah, sok-sokan taat peraturan, cuma masalah sepele kayak gini aja dibikin ribet!” Nyolot aku merespon sikap Pak Doni yang menurutku menyebalkan.

Pak Doni  tidak menanggapi kalimatku. Dia hanya diam, sambil memandangku dengan sorot mata yang tak kumengerti.

“Bukan Pak Doni yang payah, tapi kamu. Bangun pagi aja nggak bisa, apalagi membangun masa depan. Begitu mau jadi orang sukses. Mana bisa. Kamu selamanya akan jadi pecundang. Sana pulang, bapak nggak pengen melihat wajah pecundang yang minta dikasihani!”

Aw aw aw…  kalimat Pak Doni barusan benar-benar menyentak  hatiku. “Apakah aku pecundang?” Hatiku bergemuruh hebat.  Kuputar motorku menjauhi gerbang sekolah. Kuarahkan tungganganku itu ke warung Pak Capek, tempatku biasa nongkrong bersama teman-teman.  

Warung itu sepi. Tampak Pak Capek sedang mengatur dagangannya. Memasukkan minuman ke dalam kulkas dan merapikan gorengan di atas meja. Melihat aku datang dengan wajah kusut dia menyambutku ramah. “Kok nggak masuk Mas Aryo?” Tanyanya.

“Nggak Pak, telat. Pak Doni nggak mau buka gerbang.” Kujawab pertanyaan Pak Capek dengan lunglai.

“Besok jangan sampai telat lagi Mas, Pak Doni itu orangnya tegas dan disiplin.”

“Alllah Pak, kan cuma telat, masak segitunya sih, kayak nggak ada kerjaan aja.” Aku tetap membela diri.

“Jangan menganggap telat itu masalah sepele Mas. Nanti jadi kebiasaan. Dulu saya juga begitu waktu sekolah. Suka  telat, berantem, nakal, akhirnya  jadi seperti ini. Di usia tua, saya masih harus bekerja. Hidup sendiri dan susah. Waktu muda sudah terbuang dengan sia-sia. Sekarang mau apa coba. Kalau waktu muda saya belajar dengan rajin, pasti saya jadi pemenang bukan pecundang seperti ini.”   

Mendengar keluh Pak Capek, hatiku kembali tersentak. Pecundang?  Ada bilur-bilur rasa yang kemudian memenuhi ruang hatiku.  Hatiku membiru.  Kuambil kunci motor dan kuarahkan motor pulang ke rumah. Di sepanjang perjalanan aku dihadapkan dengan dua pilihan, jadi pemenang atau pecundang.