CAHAYA AYAH, ARKA...

Pagi itu, Adit berlari tergesa-gesa menuju aula besar di kampus. Seminar tentang “Pengembangan Infrastruktur” tengah berlangsung, dan ia sudah terlambat. Kopi panas di tangannya sedikit bergetar saat ia mempercepat langkah. Tanpa sengaja, ia menabrak seorang gadis di depan pintu masuk.

Kopi itu tumpah, mencemari buku catatan yang dipegang gadis tersebut. “Aduh! Maaf banget, aku nggak sengaja!” Ujar Adit panik sambil mengambil tisu.

Gadis itu hanya tersenyum tipis. “Nggak apa-apa.  Aku bisa catat ulang nanti.”  Katanya tenang, meskipun halaman bukunya  terlihat basah oleh noda cokelat.

Adit terpana sejenak. Di balik rambut hitam panjang yang sedikit berantakan, wajah gadis itu tampak teduh. “Aku Adit.” Ucapnya, berusaha memperbaiki situasi.

“Maya.” Balasnya sambil menerima tisu yang ditawarkan Adit.

Pertemuan yang canggung itu menjadi awal kisah mereka. Adit, mahasiswa Teknik Sipil yang serius, menemukan kenyamanan dalam obrolan ringan bersama Maya, mahasiswi Psikologi yang penuh perhatian. Dari diskusi tentang tugas kuliah hingga percakapan mendalam tentang mimpi-mimpi, mereka semakin sering menghabiskan waktu bersama. Perlahan, hubungan mereka berkembang dari teman menjadi lebih dari itu.

Suatu malam, di kafe kecil tempat mereka biasa menghabiskan waktu, Adit mengungkapkan perasaannya. “Aku nggak tahu gimana caranya ngomong, tapi… aku suka kamu. Aku ingin kita lebih dari sekadar teman.”

Maya terdiam sejenak sebelum tersenyum. “Aku juga suka kamu, Dit. Aku mau kita coba.”

Hubungan mereka penuh kebahagiaan sederhana. Setelah beberapa tahun berpacaran, mereka memutuskan untuk menikah. Pernikahan itu sederhana namun penuh kehangatan, dikelilingi keluarga dan sahabat.

Tahun-tahun awal pernikahan mereka adalah masa-masa indah. Mereka merencanakan banyak hal, termasuk memiliki anak. Namun, kebahagiaan itu mulai diuji ketika setelah setahun mencoba, Maya belum juga hamil.

Awalnya, mereka berpikir bahwa semua akan terjadi pada waktunya. Namun, ketika bulan-bulan berlalu tanpa hasil, mereka memutuskan untuk berkonsultasi dengan dokter. Kabar yang mereka terima menghancurkan hati mereka. Ada masalah kesehatan yang membuat peluang mereka untuk memiliki anak sangat kecil.

“Aku merasa gagal jadi istri yang baik, Dit.” Kata Maya dengan suara bergetar suatu malam.

Adit menggenggam tangan Maya erat. “Kita punya satu sama lain. Itu cukup.”

Mereka mencoba berbagai cara—terapi medis, pengobatan alternatif, bahkan doa panjang setiap malam. Setelah bertahun-tahun berjuang, kabar bahagia akhirnya tiba. Maya hamil. Tangis bahagia pecah saat dokter mengonfirmasi kehamilannya. Adit tidak pernah merasa sebahagia itu sebelumnya.

Masa-masa kehamilan Maya menjadi momen paling berharga dalam hidup mereka. Adit semakin protektif terhadap Maya, memastikan ia makan makanan sehat, cukup istirahat, dan menghindari hal-hal yang bisa membuatnya stres. Mereka menghitung hari dengan penuh antusiasme, merencanakan segala sesuatu untuk menyambut sang bayi.

“Dit, aku mau dekorasi kamar bayi kita bernuansa hutan, dengan warna hijau dan cokelat.” Kata Maya sambil memperlihatkan beberapa gambar desain kamar bayi yang ia simpan di ponselnya.

“Itu ide bagus. Tapi jangan terlalu banyak boneka, ya. Aku nggak mau nanti dia malah takut karena kamarnya terlalu ramai.” Jawab Adit sambil tersenyum.

Mereka menghabiskan waktu memilih perlengkapan bayi. Maya terkadang tertawa geli melihat Adit yang begitu serius membandingkan merek popok atau stroller. “Dit, kamu lucu banget. Kayak lagi bikin perencanaan proyek besar.” Ledek Maya.

“Ya, ini memang proyek besar. Proyek hidup kita,” Jawab Adit penuh kebanggaan.

Namun, ada satu hal yang menjadi tantangan besar bagi mereka,  memilih nama untuk bayi. Mereka ingin nama yang bermakna, tapi tidak terlalu umum.

“Bagaimana kalau kita pakai nama tradisional Jawa?” Usul Adit suatu malam.

Maya mengangguk setuju. “Tapi jangan yang terlalu panjang, ya. Kasihan anaknya nanti kalau harus mengisi formulir.”

Mereka menulis beberapa opsi nama di buku catatan, seperti “Revan,” “Arka,” “Rakha,” hingga “Aksara.” Namun, setiap kali mereka mendiskusikannya, pilihan itu selalu berubah.

“Kenapa nggak pakai ‘Arka’ aja? Artinya ‘cahaya’ atau ‘sinar’. Rasanya cocok, karena dia akan jadi cahaya dalam hidup kita.”  Kata Adit akhirnya.

Maya tersenyum dan menyetujui. “Arka. Sederhana, tapi penuh makna.”

Hari demi hari berlalu, dan kehadiran Arka yang masih dalam kandungan membuat hidup mereka terasa lebih penuh harapan. Mereka tak sabar menanti detik-detik kelahirannya.

Hari kelahiran Arka pun tiba...

Hari kelahiran Arka menjadi momen penuh haru. Tangisan bayi itu terdengar seperti jawaban atas semua doa yang Adit dan Maya panjatkan selama bertahun-tahun. Maya menggenggam jemari mungil Arka dengan tangan gemetar. “Adit, dia sempurna.” Bisiknya, sambil menahan tangis bahagia.

Adit, yang biasanya tidak mudah menangis, tak mampu berkata-kata. Ia hanya mengangguk dan menatap putranya dengan mata berkaca-kaca. “Selamat datang di dunia, cahaya Ayah.” Katanya dengan suara parau, sebelum mencium kening bayi itu penuh kasih.

Sejak itu, hari-hari mereka berubah drastis. Rumah kecil mereka yang dulu sering sunyi kini dipenuhi tawa dan tangis bayi. Setiap malam tanpa tidur terasa ringan karena cinta yang mereka miliki untuk Arka. Adit sering terjaga sampai dini hari, mengganti popok Arka sambil berbisik, “Nggak apa-apa, Ayah di sini. Nanti kamu besar, kamu pasti jadi orang hebat.”

Ketika Arka berusia satu tahun, ia mulai belajar berdiri dan berjalan. Maya akan berdiri beberapa langkah di depan, menggoda Arka dengan mainan favoritnya, sementara Adit dengan sabar menahan napas di belakang. Setiap langkah kecil yang Arka ambil adalah kemenangan besar bagi mereka.

“Ayo, sayang, cuma dua langkah lagi ke Bunda!” Seru Maya dengan antusias.

Arka terjatuh berkali-kali, tapi ia selalu tertawa kecil sebelum mencoba lagi. Ketika akhirnya ia berhasil berjalan ke pelukan Maya, Adit bertepuk tangan keras, melompat-lompat seperti anak kecil. “Kamu hebat, Nak! Ayah bangga banget sama kamu!”

Ketika Arka berusia empat tahun, ia mulai menunjukkan rasa ingin tahu yang luar biasa. Ia suka membantu Adit di kebun, meskipun hanya dengan sekop kecil di tangannya. “Aku mau bikin taman yang besar buat Ayah sama Bunda nanti.” Katanya sambil menggali tanah dengan semangat.

Di usia ini, Arka juga sudah lancar berbicara, bahkan sering membuat Maya dan Adit takjub dengan logikanya yang sederhana namun menggemaskan. Ia kerap bertanya, “Kenapa bintang nggak jatuh ke bawah, Ayah?” atau “Kalau kita jalan terus, bisa sampai ke ujung dunia nggak, Bunda?”

Namun, ada satu pertanyaan yang membuat Maya merasa seperti tertikam. Malam itu, sebelum tidur, Arka meringkuk di pelukan Maya sambil menatap wajah ibunya dengan mata polos. “Bunda, kalau aku nggak ada, Ayah sama Bunda bakal sedih nggak?”

Pertanyaan itu membuat Maya terdiam sejenak, menahan napas. Jantungnya terasa seakan berhenti berdetak. Ia memeluk Arka erat, berusaha menyembunyikan rasa takut yang tiba-tiba menyeruak dalam dirinya. Dengan suara bergetar, Maya menjawab, “Bunda nggak mau kamu pergi kemana-mana, Nak. Kamu harus selalu di sini sama Ayah dan Bunda.”

Di usia lima tahun, Arka mulai menunjukkan minat pada dunia Maya. Ia sering meniru ibunya menulis di buku catatan, mencoret-coret dengan penuh semangat. “Ini cerita aku, Bunda.” Katanya sambil menunjukkan lembaran penuh coretan tak beraturan. “Cerita tentang Ayah, Bunda, dan aku.”

Keseharian Arka menjadi momen yang selalu menghangatkan hati Maya dan Adit, meskipun bayangan kekhawatiran mulai menghantui mereka. Ia sering bernyanyi lagu anak-anak dengan suara kecilnya yang ceria, mengisi sudut-sudut rumah dengan tawa yang tak pernah mereka bayangkan akan sirna begitu cepat.

Namun, ketika Arka mendekati ulang tahunnya yang keemam, senyumnya mulai terasa berbeda. Tubuhnya yang biasanya penuh energi tiba-tiba terlihat lebih sering lelah. Adit dan Maya sempat mengira ini hanyalah efek dari hari-hari bermain yang terlalu padat, tetapi ketika demamnya tak kunjung turun dan ia sering mengeluhkan rasa sakit di tubuhnya, mereka memutuskan untuk membawanya ke dokter.

Hasil diagnosis itu seperti pukulan telak yang menghancurkan dunia mereka. Dokter mengungkapkan bahwa Arka menderita penyakit autoimun langka yang menyerang sistem tubuhnya. Harapan untuk sembuh hanya tersisa dalam bentuk terapi yang bisa memperlambat, tapi tidak menyembuhkan.

Di perjalanan pulang, Maya tidak bisa berkata apa-apa. Ia menggenggam tangan Arka erat-erat, sementara anak itu tertidur di kursi belakang mobil. Adit, yang biasanya tegar, menggigit bibirnya sampai hampir berdarah untuk menahan tangis. “Kenapa harus dia?” Bisiknya lirih, matanya tetap terpaku pada jalanan di depannya.

Meski dihantui rasa takut, mereka memutuskan untuk tidak menunjukkan kesedihan di depan Arka. Setiap harinya, mereka berusaha membuatnya tetap merasa seperti anak-anak lainnya. Mereka merayakan ulang tahunnya yang kelima dengan sederhana, tapi penuh cinta.

“Arka, mau hadiah apa di ulang tahunmu kali ini?” Tanya Adit, mencoba menyembunyikan rasa perih di dadanya.

Arka, yang duduk dengan tubuh semakin kurus tapi masih tersenyum ceria, menjawab, “Aku mau main ayunan di taman. Bunda sama Ayah ikut ya?”

Hari itu, mereka membawa Arka ke taman dekat rumah. Adit mendorong ayunan perlahan, sementara Maya duduk di samping mereka, berusaha mengabadikan momen itu di dalam ingatannya. Arka tertawa kecil, kepalanya menengadah ke langit. “Ayah, Bunda, kalau aku besar nanti, aku mau bangun taman ini jadi lebih indah. Ada bunga warna-warni, ada kolam kecil, dan banyak burung yang terbang di atas.”

Adit tersenyum, meski hatinya terasa seperti remuk. “Tentu, Nak. Kamu pasti bisa.”

Tapi malam itu, ketika semua orang sudah tidur, Maya menangis tersedu-sedu di dalam kamar mandi, menutup mulutnya agar suara tangisnya tidak terdengar. “Kenapa harus Arka, Tuhan? Kenapa anak sekecil dia harus melalui ini?”

Seiring waktu, kondisi Arka semakin memburuk. Tubuhnya menjadi semakin lemah, dan ia lebih sering terbaring di tempat tidur. Namun, ia tetap menunjukkan senyumnya. Suatu hari, ketika Adit sedang membacakan buku cerita favoritnya, Arka tiba-tiba berkata, “Ayah, kalau aku nggak ada nanti, Ayah sama Bunda nggak boleh sedih ya. Aku nggak mau kalian nangis terus.”

 Adit menahan tangisnya sekuat tenaga, menggenggam tangan mungil Arka. “Ayah sama Bunda nggak akan pernah lupa sama kamu, Nak. Kamu selalu ada di hati kami.”

Di minggu terakhirnya, Arka meminta Maya untuk menulis sesuatu di buku catatan kecilnya. “Bunda, tulis ini ya. ‘Arka sayang Ayah dan Bunda, selamanya.’” Maya menulisnya dengan tangan bergetar, air matanya jatuh mengenai kertas.

Arka berpulang pada malam yang sunyi, di pelukan Maya dengan Adit yang memegang tangan mereka berdua. Tangis Maya memenuhi ruangan, sementara Adit memeluk keduanya erat, seakan tak ingin melepaskan keluarga kecilnya.