LANY dan Pena Ayah

Di desa kecil   jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, hidup seorang gadis piatu bernama Lany. Desa itu, dipenuhi oleh hamparan sawah, kebun apel yang tak terhitung luasnya, dan pepohonan yang menjulang tinggi, seolah menjadi dunia yang terpisah dari kemajuan. Di sana, udara begitu segar, burung-burung berkicau sepanjang hari, dan orang-orang menjalani hidup dengan tenang. Namun, bagi Lany, tempat ini seperti sebuah kekangan penjara tanpa perkembangan. Ia sering merasa bosan dan putus asa melihat lingkungannya yang seolah tak berubah sejak ia kecil.

“Gak guna banget hidup di sini kalau ngga ada perkembangan sama sekali!” Pikirnya.  

Lany dulu, sebenarnya bukanlah gadis yang seperti ini. Semasa kecil, ia dikenal sebagai  anak yang penuh semangat, ceria, dan memiliki hobi menulis berkat ayahnya. Ayahnya, seorang guru bahasa di desa itu. Dia  adalah orang  pertama  yang memperkenalkan dunia tulis menulis kepadanya. Setiap malam sebelum tidur, ayahnya akan bercerita tentang dongeng atau kisah nyata yang ia tuliskan sendiri. Bahkan, Lany sering diajak untuk menulis cerita bersama. Dari langkah inilah Lany mulai tertarik mengikuti jejak ayahnya, menulis.

“Lany, menulis itu seperti menciptakan dunia baru. ” Kata ayahnya suatu hari. “Kamu bisa membuat apa saja terjadi di atas kertas. Bahkan hal-hal yang tidak bisa kamu capai di dunia nyata.”

Sejak saat itu, menulis menjadi dunia Lany. Ia akan menghabiskan waktu berjam-jam di meja kayu kecil di kamarnya, berfikir, merenung, mengguratkan ide-ide di buku catatannya. Ayahnya selalu menjadi pembaca pertama setiap cerita yang ia tulis. Ayah akan memberikan masukan dengan lembut dan penuh kasih sayang.

Selama ini Lany sudah banyak menulis cerpen,  namun sebenarnya ada satu  cerpen rahasia yang dibuat secara diam-diam untuk hadiah ulang tahun ayahnya. Lany tak sabar melihat reaksi ayah membaca tulisan yang  sudah dia tulis dengan sepenuh hati.

Dan hari itu  tiba...

Lany sudah mempersiapkan kue dengan lilin, juga  block note  yang berisi cerpen Lany. Perasaan Lany campur aduk menunggu kedatangan ayah. Namun   sebuah kabar mengabarkan kalau ayah akan pulang telat. Ayah harus menyelesaikan tugas dari kepala sekolah. Lany  menunggu ayah hingga matahari masuk ke peraduan. Setelah Lany menyadari bahwa mungkin ayah akan pulang malam,  ia lantas  bergegas menutup pintu rumah dan jendela-jendela yang masih terbuka. Lany tetap menunggu ayah.

Belum jam 9 malam,  ketika seorang  warga  mengetuk pintu rumah Lany. Warga itu adalah tetangga  Lany yang membawa sebuah kabar duka. Malam itu,  Lany harus menerima kenyataan bahwa ayahnya menjadi korban kecelakaan. Malam itu,  ayah berpulang tanpa pernah membaca tulisan Lany. Hati Lany seketika hancur berserakan. Jiwanya meratap sedih, namun Lany tidak bisa menolak takdir bahwa malam itu dia harus menjadi yatim piatu.

Buku-buku  dan kertas-kertas  menjadi saksi bisu kesedihannya, terkubur di sudut kamarnya, berdebu karena tak pernah lagi disentuh.

Pena Lany sudah tidak pernah mencoretkan tinta merangkai kalimat dan cerita. Lany tidak mau menyentuh benda-benda tersebut lagi, itu hanya akan mengingatkan Lany betapa jahatnya ayah Lany karena sudah meninggalkan Lany sendiri.

Lany menangis setiap hari, merenung sepi.  “Dulu aku suka menulis sewaktu bersama ayah, walau tulisanku sangat jelek tapi seru sekali dan terasa sangat bahagia. Namun,  saat ayah pergi aku sudah tak lagi menyentuh alat tulis itu. Ternyata aku bukan suka menulis, tapi menyukai orang yang menemaniku menulis.” Batin Lany bergejolak.

Hari demi hari Lany lewati...

Hingga suatu hari, desa yang tenang itu diguncang oleh kabar buruk. Sebuah perusahaan besar berniat membeli sebagian besar lahan warga untuk membangun pabrik. Banyak warga yang tergiur dengan tawaran uang yang besar, tapi ada pula yang khawatir bahwa kehadiran pabrik akan merusak keindahan dan kesegaran alam di desa itu. Perdebatanpun pecah diantara para penduduk.

Lany tidak peduli. Baginya, semua itu tidak penting. Ia hanya ingin pergi dari desa itu, meninggalkan segala kenangan tentang ayah yang terus menghantuinya.

Namun, perdebatan yang terus berlangsung membuatnya perlahan tertarik untuk mendengarkan lebih dalam. Ia mulai memahami bahwa jika pabrik itu dibangun, desa yang selama ini dianggapnya membosankan akan berubah selamanya mungkin menjadi lebih buruk.

“Kalau ayah masih ada, apa dia akan membiarkan ini terjadi?” Pikir Lany suatu malam. Ia kembali  membuka  buku catatan lamanya yang berdebu. Ia membuka salah satu halaman dan membaca cerita terakhir yang pernah ia tulis bersama ayah. Cerita  tentang seorang anak kecil yang berhasil menyelamatkan desa dengan keberaniannya.

Lany merasa gelisah. Ada sesuatu di dalam dirinya yang seolah memanggilnya untuk bertindak. Ia mengingat kata-kata ayahnya,  “Menulis itu seperti menciptakan dunia baru.”

Mungkin,  Lany  bisa menggunakan tulisannya untuk membantu desa ini. Namun, ketika mencoba menulis lagi, ia merasa jemarinya kaku. Kata-kata yang dulu mengalir dengan mudah kini terasa sulit untuk dirangkai.

“Apa aku sudah lupa caranya menulis?” Pikirnya dengan frustrasi.

Lany memutuskan untuk mencari inspirasi. Ia mengunjungi perpustakaan kecil di  desanya. Ia  membaca artikel dan cerita-cerita di koran tua. Salah satu artikel menarik perhatiannya. Artikel itu membahas bagaimana tulisan bisa mengubah pandangan orang dan menggerakkan mereka untuk bertindak. Lany merasa itu adalah panggilannya. Ia ingin mencoba menulis untuk sebuah media cetak, tetapi masalahnya, ia tidak tahu harus mulai dari mana.

Berbekal laptop pinjaman dari temannya, dengan tekad yang baru, ia mulai menulis. Malam-malamnya kembali diisi dengan suara ketikan Lany di atas keyboard. Namun, saat ia mengirimkan tulisan pertamanya ke sebuah koran lokal, balasannya sangat mengecewakan. Editor koran itu mengatakan bahwa tulisannya kurang jelas dan tidak menarik.


Lany merasa hancur. Ia menangis semalaman, ia mengingat kembali betapa mudahnya menulis bersama ayah. Namun, kali ini, ia tidak ingin menyerah. Ia terus belajar, membaca buku-buku panduan menulis, dan mencoba menulis ulang artikelnya. Setiap revisi terasa seperti perjuangan yang berat, tetapi ia tahu bahwa itu harus dilakukan.

Akhirnya, setelah berminggu-minggu mencoba, salah satu tulisannya dimuat di koran lokal. Artikel itu adalah tentang kecintaannya pada desa dan bagaimana pembangunan pabrik bisa merusak keindahan yang ada. Tulisan Lany menyentuh hati banyak orang. Bahkan, beberapa warga yang sebelumnya mendukung pembangunan pabrik mulai mempertimbangkan ulang keputusan mereka.

Lany merasa bangga, tetapi ia tahu perjuangannya belum selesai.  Kini Lany mulai mengirim tulisannya untuk beberapa media online. Tulisan Lany juga mulai ramai menghiasi beberapa media sosial. Dan Lany terus menulis untuk desanya.

Ia mulai menulis lebih banyak artikel, tidak hanya tentang pabrik tetapi juga tentang potensi yang dimiliki desanya. Ia menyoroti bagaimana kebun apel bisa dikembangkan menjadi destinasi wisata, atau bagaimana hasil tani lokal bisa dipasarkan dengan lebih luas.

Di  tengah semua  perjuangan itu,  sering terselip perasaan rindu  Lany kepada ayahnya. Setiap kali ia merasa lelah atau ingin menyerah, ia akan mengingat kata-kata ayah dan membayangkan senyumnya. “Apa Ayah bangga padaku sekarang?” Hatinya berbisik halus.

Perjuangan Lany akhirnya membuahkan hasil. Berkat tulisan-tulisannya, perhatian pemerintah daerah tertuju pada desa itu. Mereka mengirimkan tim untuk mengembangkan desa menjadi kawasan wisata hijau tanpa harus membangun pabrik. Desa yang dulunya dianggap Lany membosankan kini berubah menjadi tempat yang lebih hidup, tetapi tetap mempertahankan keasriannya.

Pada hari peluncuran kawasan wisata pertama di desanya, Lany berdiri di depan kerumunan warga yang bersorak-sorai. Di tangan kecilnya, ia menggenggam pena milik ayahnya— peninggalan yang selama ini ia simpan dengan hati-hati. Di depan mikrofon, Lany menyampaikan pidato singkat.

“Semua ini berawal dari sebuah tulisan.” Katanya.  Suara Lany  bergetar. “Dan  semua tulisan itu ada karena seseorang yang selalu percaya padaku. Terima kasih, Ayah. Ini semua untukmu.”

Lany menutup pidatonya dengan senyum kecil, tetapi air mata mengalir di pipinya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia tidak hanya melanjutkan warisan ayahnya, tetapi juga menciptakan sesuatu yang baru sesuatu yang akan terus hidup, bahkan ketika dirinya sudah tiada.