Berita
- By Revan Fajar Ramadhan
- 18 Dec 2024
- 1518
LANY dan Pena Ayah
Di desa kecil jauh
dari hiruk-pikuk perkotaan, hidup seorang gadis piatu bernama Lany. Desa itu, dipenuhi
oleh hamparan sawah, kebun apel yang tak terhitung luasnya, dan pepohonan yang
menjulang tinggi, seolah menjadi dunia yang terpisah dari kemajuan. Di sana, udara
begitu segar, burung-burung berkicau sepanjang hari,
dan orang-orang menjalani
hidup dengan tenang. Namun, bagi Lany, tempat ini seperti sebuah kekangan
penjara tanpa perkembangan. Ia sering merasa bosan dan putus asa melihat
lingkungannya yang seolah tak berubah sejak ia kecil.
“Gak guna banget hidup
di sini kalau ngga ada perkembangan sama sekali!” Pikirnya.
Lany dulu, sebenarnya
bukanlah gadis yang seperti ini. Semasa kecil,
ia dikenal sebagai anak yang penuh semangat, ceria, dan memiliki
hobi menulis berkat ayahnya. Ayahnya, seorang guru bahasa di desa itu. Dia adalah orang pertama yang memperkenalkan dunia tulis menulis
kepadanya. Setiap malam sebelum tidur, ayahnya
akan bercerita tentang
dongeng atau kisah
nyata yang ia tuliskan sendiri. Bahkan, Lany sering diajak untuk
menulis cerita bersama. Dari langkah inilah Lany mulai tertarik mengikuti jejak
ayahnya, menulis.
“Lany, menulis
itu seperti menciptakan dunia baru. ” Kata ayahnya suatu hari. “Kamu bisa
membuat apa saja terjadi di atas kertas.
Bahkan hal-hal yang tidak bisa kamu capai di dunia nyata.”
Sejak saat itu,
menulis menjadi dunia Lany. Ia akan menghabiskan waktu berjam-jam di meja kayu
kecil di kamarnya, berfikir, merenung, mengguratkan ide-ide di buku
catatannya. Ayahnya selalu menjadi pembaca
pertama setiap cerita
yang ia tulis. Ayah akan memberikan masukan
dengan lembut dan penuh kasih
sayang.
Selama
ini Lany sudah banyak menulis cerpen, namun sebenarnya ada
satu cerpen
rahasia yang dibuat secara diam-diam untuk hadiah ulang
tahun ayahnya. Lany tak sabar melihat reaksi ayah membaca tulisan yang sudah dia tulis dengan sepenuh hati.
Dan hari itu tiba...
Lany sudah
mempersiapkan kue dengan lilin, juga block
note yang berisi cerpen Lany. Perasaan Lany campur aduk menunggu
kedatangan ayah. Namun sebuah kabar mengabarkan kalau ayah akan
pulang telat. Ayah harus menyelesaikan tugas dari kepala sekolah. Lany menunggu ayah
hingga matahari masuk ke peraduan. Setelah Lany menyadari bahwa mungkin ayah akan pulang malam, ia lantas bergegas menutup pintu rumah dan
jendela-jendela yang masih terbuka. Lany tetap menunggu ayah.
Belum jam 9 malam, ketika seorang warga mengetuk pintu rumah Lany. Warga itu adalah tetangga Lany yang membawa sebuah kabar duka. Malam itu, Lany harus menerima kenyataan bahwa ayahnya menjadi korban kecelakaan. Malam itu, ayah berpulang tanpa pernah membaca tulisan Lany. Hati Lany seketika hancur berserakan. Jiwanya meratap sedih, namun Lany tidak bisa menolak takdir bahwa malam itu dia harus menjadi yatim piatu.
Buku-buku dan kertas-kertas menjadi saksi bisu kesedihannya, terkubur di
sudut kamarnya, berdebu karena tak pernah lagi disentuh.
Pena Lany sudah tidak
pernah mencoretkan tinta merangkai kalimat dan cerita. Lany tidak mau menyentuh
benda-benda tersebut lagi,
itu hanya akan mengingatkan Lany betapa jahatnya
ayah Lany karena sudah meninggalkan Lany sendiri.
Lany menangis setiap
hari, merenung sepi. “Dulu aku suka
menulis sewaktu bersama ayah, walau tulisanku sangat jelek tapi seru sekali dan
terasa sangat bahagia. Namun, saat ayah
pergi aku sudah tak lagi menyentuh alat tulis itu. Ternyata aku bukan
suka menulis, tapi menyukai orang yang menemaniku menulis.” Batin Lany bergejolak.
Hari demi hari Lany lewati...
Hingga suatu hari, desa yang tenang itu diguncang
oleh kabar buruk. Sebuah perusahaan besar berniat membeli sebagian besar lahan warga untuk membangun
pabrik. Banyak warga yang tergiur dengan tawaran uang yang besar, tapi ada pula
yang khawatir bahwa kehadiran pabrik akan merusak keindahan dan kesegaran alam
di desa itu. Perdebatanpun pecah diantara para penduduk.
Lany tidak peduli.
Baginya, semua itu tidak penting. Ia hanya ingin pergi dari desa itu,
meninggalkan segala kenangan tentang ayah yang terus menghantuinya.
Namun, perdebatan yang terus berlangsung membuatnya perlahan tertarik
untuk mendengarkan lebih
dalam. Ia mulai memahami bahwa jika pabrik itu dibangun, desa yang selama ini
dianggapnya membosankan akan berubah selamanya mungkin menjadi lebih buruk.
“Kalau ayah masih ada, apa dia akan membiarkan ini terjadi?” Pikir Lany suatu malam.
Ia kembali membuka buku catatan lamanya yang berdebu. Ia membuka
salah satu halaman dan membaca cerita terakhir yang pernah ia tulis bersama
ayah. Cerita tentang seorang anak kecil
yang berhasil menyelamatkan desa dengan keberaniannya.
Lany merasa
gelisah. Ada sesuatu di dalam dirinya yang seolah memanggilnya untuk bertindak.
Ia mengingat kata-kata ayahnya, “Menulis
itu seperti menciptakan dunia baru.”
Mungkin, Lany bisa menggunakan tulisannya untuk membantu
desa ini. Namun, ketika mencoba menulis lagi, ia merasa jemarinya kaku. Kata-kata yang dulu mengalir
dengan mudah kini terasa sulit untuk dirangkai.
“Apa aku sudah lupa
caranya menulis?” Pikirnya dengan frustrasi.
Lany memutuskan untuk
mencari inspirasi. Ia mengunjungi perpustakaan kecil di desanya. Ia membaca artikel dan cerita-cerita di koran tua. Salah
satu artikel menarik perhatiannya. Artikel itu membahas bagaimana tulisan
bisa mengubah pandangan orang dan menggerakkan mereka untuk bertindak. Lany merasa itu adalah panggilannya. Ia ingin mencoba
menulis untuk sebuah media cetak, tetapi masalahnya, ia
tidak tahu harus mulai dari mana.
Berbekal laptop
pinjaman dari temannya, dengan tekad yang baru, ia mulai
menulis. Malam-malamnya kembali
diisi dengan suara
ketikan Lany di atas keyboard. Namun, saat ia mengirimkan tulisan
pertamanya ke sebuah koran lokal, balasannya sangat mengecewakan. Editor koran itu mengatakan bahwa tulisannya
kurang jelas dan tidak menarik.
Lany merasa
hancur. Ia menangis
semalaman, ia mengingat kembali
betapa mudahnya menulis bersama ayah. Namun, kali ini, ia
tidak ingin menyerah. Ia terus belajar, membaca buku-buku panduan menulis, dan
mencoba menulis ulang artikelnya. Setiap revisi terasa seperti perjuangan yang
berat, tetapi ia tahu bahwa itu harus dilakukan.
Akhirnya, setelah
berminggu-minggu mencoba, salah satu tulisannya dimuat di koran lokal. Artikel
itu adalah tentang kecintaannya pada desa dan bagaimana pembangunan pabrik bisa
merusak keindahan yang ada. Tulisan
Lany menyentuh hati banyak orang. Bahkan,
beberapa warga yang sebelumnya mendukung pembangunan pabrik mulai
mempertimbangkan ulang keputusan mereka.
Lany merasa bangga, tetapi ia tahu perjuangannya belum selesai. Kini Lany
mulai mengirim tulisannya untuk beberapa media online. Tulisan Lany juga
mulai ramai menghiasi beberapa media sosial. Dan Lany terus menulis untuk
desanya.
Ia mulai menulis lebih banyak
artikel, tidak hanya tentang pabrik tetapi juga tentang potensi yang dimiliki
desanya. Ia menyoroti bagaimana kebun apel bisa dikembangkan
menjadi destinasi wisata, atau bagaimana hasil tani lokal
bisa dipasarkan dengan lebih luas.
Di tengah semua perjuangan itu, sering terselip perasaan rindu Lany kepada ayahnya. Setiap kali ia merasa lelah atau ingin menyerah, ia akan
mengingat kata-kata ayah dan membayangkan senyumnya. “Apa Ayah bangga padaku
sekarang?” Hatinya berbisik halus.
Perjuangan Lany akhirnya membuahkan hasil. Berkat tulisan-tulisannya, perhatian pemerintah
daerah tertuju pada desa itu. Mereka mengirimkan tim untuk mengembangkan desa
menjadi kawasan wisata hijau tanpa harus membangun pabrik. Desa yang dulunya
dianggap Lany membosankan kini berubah menjadi tempat yang lebih hidup, tetapi
tetap mempertahankan keasriannya.
Pada hari peluncuran kawasan
wisata pertama di desanya, Lany berdiri di depan kerumunan warga yang bersorak-sorai. Di
tangan kecilnya, ia menggenggam pena milik ayahnya— peninggalan yang selama ini
ia simpan dengan hati-hati. Di depan mikrofon, Lany menyampaikan pidato
singkat.
“Semua ini berawal
dari sebuah tulisan.” Katanya. Suara Lany bergetar. “Dan semua tulisan itu ada karena seseorang
yang selalu percaya padaku. Terima kasih, Ayah. Ini semua untukmu.”
Lany
menutup pidatonya dengan senyum kecil, tetapi air mata mengalir di pipinya.
Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia tidak hanya melanjutkan warisan
ayahnya, tetapi juga menciptakan sesuatu yang baru sesuatu
yang akan terus hidup,
bahkan ketika dirinya
sudah tiada.