MAAFKAN AKU, MAMI...

Hampir jam 4 sore, Dinda masih duduk di perempatan dekat sekolahnya. Wajahnya tampak gelisah dan tak tenang. Sesekali matanya menatap orang-orang yang lalu Lalang. Mereka nampak tergesa dan terburu-buru. Jam-jam Ashar saatnya orang-orang pulang dari tempat kerja. Sebenarnya sudah dari setengah jam yang lalu Dinda keluar kelas, biasanya jam segitu Dinda sudah sampai ke rumah. Jarak rumah dan sekolahnya yang dekat, bisa ditempuh dengan waktu 20 menit berjalan kaki. Tapi sore ini, Dinda merasa enggan untuk pulang lebih cepat. Dia berlama-lama duduk di perempatan sambil menggenggam plastik  berisi es teh yang isinya tinggal sepertiganya.  Sesekali diminumnya es teh itu. 

Bel tanda pelajaran usai berbunyi, seluruh siswa menyambut suara bel itu dengan senyum merekah. Setelah dihajar pelajaran dari mulai jam 7 pagi, saatnya pulang ke rumah. Bu Santi, guru Bahasa Indonesia di kelas Dinda menutup pelajaran dan mempersilahkan anak-anak berdoa.  Selesai mengucapkan salam kepada bu guru, anak-anak langsung berebut keluar. Dinda mengangkat tasnya, dan menyadari botol minumnya raib.

“Eh May, botol minumku mana ya?” Tanya Dinda kepada Maya teman sebangkunya.

“Paling di laci Dind, coba periksa dulu.” Saran Maya. Mendengar saran Maya,  Dinda segera memeriksa lacinya. Tapi hasilnya zonk. Dia tidak menemukan botol minum berwarna ungu itu. “Aduh May, nggak ada lho!” Dinda mulai panik ketika dia tidak menemukan apa yang dicarinya. Kelas mulai sepi, Maya dan Dinda masih berkutat di kelas mencari botol minum Dinda. Namun bagaimanapun usaha mereka,botol minum itu tak ditemukan.  Hampir 15 menit kedua  gadis itu melebarkan mata untuk mencari botol itu. Dan hasilnya nihil.

Setelah puas mencari dan tak mendapatkan hasil, keduanya memutuskan untuk pulang. Karena rumah mereka  berbeda arah Dinda dan Maya  pulang sendiri-sendiri. Tapi tidak seperti Maya yang langsung pulang ke rumah, Dinda menghentikan  langkahnya untuk pulang. Gadis berusia 15 tahun itu nampak ragu. Dia kemudian duduk di bangku pinggir jalan di perempatan dekat sekolahnya.

“Dinda, ini mami belikan botol minum, merknya Tupperware, dijaga baik-baik ya, jangan sampai hilang, harganya mahal. Mami kredit 5 bulan sama Bu Pandu.” Kata mami  sambil menyerahkan bungkusan plastik  berisi botol minum berwarna ungu. “Uuuuuh bagus banget Mi!” Dinda menyambut dengan riang gembira pemberian maminya. “Iyalah bagus, namanya juga barang mahal, nggak semua orang mampu membeli botol minum kayak gitu. Makanya Dinda harus berhati-hati menjaganya, jangan sampai hilang.” Mami merepet tak henti-henti. “Tupperware itu kata Bu Pandu hanya untuk orang-orang kaya, orang-orang yang tau kwalitas. Walau bahannya dari plastik  tapi itu plastiknya “poodgred” kata Bu Pandu.” Mami menjelaskan dengan semangat.

Dan semenjak hari itu, botol minum ungu itu menemani Dinda setiap sekolah. Ada rasa bangga ketika teman-temannya menatap kagum pada botol minumnya itu. Iyalah, barang mahal.  Mami setiap hari selalu menanyakan  keberadaan botol  itu. “Botolnya dicuci setiap hari ya Dind, jangan sampai berlumut, itu barang mahal, nggak semua orang mampu beli, dan bla bla bla…”

Dan sekarang? Botol minum itu hilang.

Dinda tak bisa membayangkan bagaimana marahnya mami jika tau bahwa botol itu hilang. Dia menelan ludahnya. Napasnya memberat. Dinda  merasa takut untuk pulang.  “Din, anaknya Bu Susan, botol minumnya kayak punyamu itu lho, Tupperware juga.” Cerita mami sore itu. “Emang Mami tau dari mana?” Tanya Dinda. “Kemarin Bu Pandu cerita ke mami.” Jelas mami. “Tapi Bu Susan nggak kreditkan Mi.” Canda Dinda. “Ih kamu ini, Bu Susan lho orang kaya, masak kredit. Nanti kalau botol minummu udah selesai kreditnya mami mau kredit tempat bekal juga.” Mami berapi-api menjelaskan rencananya pada Dinda.

Dinda tersenyum geli menatap maminya, sebagai single parent Dinda paham bagaimana sulitnya mami untuk membiayai kehidupan keluarga mereka. Dinda juga paham, bagaimana mami punya keinginan agar anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik. Makanya sampai diusahain kredit supaya mami bisa membelikan Dinda botol minum “Tupperware”. Botol minum mahal, kata mami.

Sore bertambah temaram, Dinda memutuskan melanjutkan perjalanannya. Bukan ke arah rumah, tapi menuju arah yang lain. “Maafkan aku ya Mi.” Guman Dinda lirih.

Di rumah.

Mami gelisah karena sampai malam Dinda belum pulang dari sekolah. Di atas kulkas ada kantong plastik berisi wadah bekal bermerk “Tupperware.” Sampai malam  itu, mami belum menyadari kenapa Dinda  belum pulang juga.