Berita
- By Triwiek Yulinawati
- 17 Dec 2024
- 579
MAAFKAN AKU, MAMI...
Hampir jam 4 sore, Dinda masih duduk di perempatan dekat sekolahnya.
Wajahnya tampak gelisah dan tak tenang. Sesekali matanya menatap orang-orang
yang lalu Lalang. Mereka nampak tergesa dan terburu-buru. Jam-jam Ashar saatnya
orang-orang pulang dari tempat kerja. Sebenarnya sudah dari setengah jam yang
lalu Dinda keluar kelas, biasanya jam segitu Dinda sudah sampai ke rumah. Jarak
rumah dan sekolahnya yang dekat, bisa ditempuh dengan waktu 20 menit berjalan
kaki. Tapi sore ini, Dinda merasa enggan untuk pulang lebih cepat. Dia
berlama-lama duduk di perempatan sambil menggenggam plastik berisi es teh yang isinya tinggal
sepertiganya. Sesekali diminumnya es teh
itu.
Bel tanda pelajaran usai berbunyi, seluruh siswa menyambut suara bel
itu dengan senyum merekah. Setelah dihajar pelajaran dari mulai jam 7 pagi,
saatnya pulang ke rumah. Bu Santi, guru Bahasa Indonesia di kelas Dinda menutup
pelajaran dan mempersilahkan anak-anak berdoa.
Selesai mengucapkan salam kepada bu guru, anak-anak langsung berebut
keluar. Dinda mengangkat tasnya, dan menyadari botol minumnya raib.
“Eh May, botol minumku mana ya?” Tanya Dinda kepada Maya teman
sebangkunya.
“Paling di laci Dind, coba periksa dulu.” Saran Maya. Mendengar
saran Maya, Dinda segera memeriksa
lacinya. Tapi hasilnya zonk. Dia tidak menemukan botol minum berwarna ungu itu.
“Aduh May, nggak ada lho!” Dinda mulai panik ketika dia tidak menemukan apa
yang dicarinya. Kelas mulai sepi, Maya dan Dinda masih berkutat di kelas
mencari botol minum Dinda. Namun bagaimanapun usaha mereka,botol minum itu tak
ditemukan. Hampir 15 menit kedua gadis itu melebarkan mata untuk mencari botol
itu. Dan hasilnya nihil.
Setelah puas mencari dan tak mendapatkan hasil, keduanya memutuskan
untuk pulang. Karena rumah mereka
berbeda arah Dinda dan Maya
pulang sendiri-sendiri. Tapi tidak seperti Maya yang langsung pulang ke
rumah, Dinda menghentikan langkahnya
untuk pulang. Gadis berusia 15 tahun itu nampak ragu. Dia kemudian duduk di
bangku pinggir jalan di perempatan dekat sekolahnya.
“Dinda, ini mami belikan botol minum, merknya Tupperware, dijaga
baik-baik ya, jangan sampai hilang, harganya mahal. Mami kredit 5 bulan sama Bu
Pandu.” Kata mami sambil menyerahkan
bungkusan plastik berisi botol minum
berwarna ungu. “Uuuuuh bagus banget Mi!” Dinda menyambut dengan riang gembira
pemberian maminya. “Iyalah bagus, namanya juga barang mahal, nggak semua orang
mampu membeli botol minum kayak gitu. Makanya Dinda harus berhati-hati
menjaganya, jangan sampai hilang.” Mami merepet tak henti-henti. “Tupperware
itu kata Bu Pandu hanya untuk orang-orang kaya, orang-orang yang tau kwalitas.
Walau bahannya dari plastik tapi itu plastiknya “poodgred” kata Bu Pandu.” Mami
menjelaskan dengan semangat.
Dan semenjak hari itu, botol minum ungu itu menemani Dinda setiap
sekolah. Ada rasa bangga ketika teman-temannya menatap kagum pada botol
minumnya itu. Iyalah, barang mahal. Mami
setiap hari selalu menanyakan keberadaan
botol itu. “Botolnya dicuci setiap hari
ya Dind, jangan sampai berlumut, itu barang mahal, nggak semua orang mampu
beli, dan bla bla bla…”
Dan sekarang? Botol minum itu hilang.
Dinda tak bisa membayangkan bagaimana marahnya mami jika tau bahwa
botol itu hilang. Dia menelan ludahnya. Napasnya memberat. Dinda merasa takut untuk pulang. “Din, anaknya Bu Susan, botol minumnya kayak
punyamu itu lho, Tupperware juga.” Cerita mami sore itu. “Emang Mami tau dari
mana?” Tanya Dinda. “Kemarin Bu Pandu cerita ke mami.” Jelas mami. “Tapi Bu
Susan nggak kreditkan Mi.” Canda Dinda. “Ih kamu ini, Bu Susan lho orang kaya,
masak kredit. Nanti kalau botol minummu udah selesai kreditnya mami mau kredit
tempat bekal juga.” Mami berapi-api menjelaskan rencananya pada Dinda.
Dinda tersenyum geli menatap maminya, sebagai single parent Dinda
paham bagaimana sulitnya mami untuk membiayai kehidupan keluarga mereka. Dinda
juga paham, bagaimana mami punya keinginan agar anaknya memiliki kehidupan yang
lebih baik. Makanya sampai diusahain kredit supaya mami bisa membelikan Dinda
botol minum “Tupperware”. Botol minum mahal, kata mami.
Sore bertambah temaram, Dinda memutuskan melanjutkan perjalanannya.
Bukan ke arah rumah, tapi menuju arah yang lain. “Maafkan aku ya Mi.” Guman Dinda
lirih.
Di rumah.
Mami gelisah karena sampai malam Dinda belum pulang dari sekolah. Di
atas kulkas ada kantong plastik berisi wadah bekal bermerk “Tupperware.” Sampai
malam itu, mami belum menyadari kenapa
Dinda belum pulang juga.