BILUR HATI NIENA

Pukul  07.20 ketika aku tiba di kelas, kulihat teman-teman sedang ramai dengan berbagai pekerjaan mereka. Ada yang ngobrol, ada yang asyik dengan gadgetnya, ada yang sibuk dengan cermin dan dandanannya, tapi yang paling banyak kulihat adalah pemandangan teman-teman yang sedang menekuri buku di depan mereka masing-masing. Aku tau mereka sedang menyelesaikan tugas dari Bu Nova, guru ekonomi yang memang hobi memberikan PR yang nggak pernah sedikit itu.


Nggak tau juga guruku yang satu itu, kadang aku berpikir apa nggak pening harus meriksa tugas anak-anak yang berjibun itu.  Itu  baru dari kelasku, sedangkan dari kelas yang lain? Tapi bagaimanapun cara dia mengoreksi pekerjaan kami, yang jelas tiap dibagikan buku-buku tugas itu,  sudah  tertempel nilai-nilai  dengan rapi. Itu berarti sudah diperiksa dong pekerjaan kami itu dengan teliti dan seksama. Aaah. mikir guru yang satu itu bikin pening kepala juga. Yang jelas untuk hari ini aku dalam posisi aman, sudah dari kemarin-kemarin aku kerjakan tugas itu dibantu oleh Lilis.


Aku berjalan ke arah bangkuku, Emil nampak sibuk dengan buku dan bolpointnya, dia sama sekali tak memberi respon atas kedatanganku.

“Mil.” Aku mencondongkan badanku ke arah telinganya sambil berbisik. Emil hanya mengangkat kepalanya sejenak, dan kembali asyik dengan pekerjaannya.

“Mil!” Kusenggol tangannya dengan sikutku.

“Apaan sih, nggak ngeliat gue lagi ngerjain PR Bu Nova. Emang  elu udahan ya?” Emil menyahut senggolan tanganku dengan gaya sok Jakarta itu.

“Udah dong, dari kemarin. Aku  kerjain sama Lilis!” Aku menjawab dengan maksud memanas-manasi hati Emil.

“Nyontek dong!” Emil merubah sikapnya setelah tau kabar baik,  kalau aku sudah menyelesaikan PR-ku.

“Nggak boleh, ngerjain sendirilah, emang siapa yang mau dapat nilai!” Melihat sikapnya yang tiba-tiba berubah aku mencoba menggodanya.

“Pinjem sih, tinggal bagian akhir nih.” Emil tetap ngotot meminta bantuanku. Mungkin mendengar nama “Lilis” menjadi bagian dalam pengerjaan PR-ku membuat Emil yakin bahwa pekerjaanku kali ini pasti “Jaminan Mutu Cap Jempol Empat”.

“Iya, iya, untuk kamu apa sih yang enggak!” Kuputuskan untuk memberikan bantuan kepada Emil, kubuka tas, kukeluarkan buku ekonomi tugas, kutarik buku berwarna coklat itu, “Alamak!” Mataku membesar ketika aku melihat bahwa itu bukan buku ekonomi tapi buku Geografi.

“Jadi....!!”


“Ibu nggak ingin dengar alasan apapun, kamu bilang sudah mengerjakan PR dari kemarin, sudah ini,  sudah itu,  tapi kenyataan mana, kamu nggak bisa tunjukkan pekerjaanmu itukan!”

Pelajaran Bu Nova kali ini aku kembali harus dijemur di tengah halaman, kalau biasanya banyak teman yang menemaniku,  tapi hari ini aku harus sendirian di jemur menghormat kepada bendera merah putih. Dan ini terjadi karena kecerobohanku yang tidak teliti ketika memasukkan buku ke dalam tas.

“Aaaah kenapa untuk menjadi baik sangat susah sih!” Aku merutuk kesialanku. Nggak sekali dua kali aku dihukum karena sifat jelekku itu, dan ini entah untuk keberapa kalinya. Aku tak mampu lagi untuk menghitung. Aku lupa mencatatnya, mungkin saking banyaknya.


“Kepada bendera merah putih hormat graaak!” Ada suara di dekat telingaku dari arah belakang, suara itu tidak begitu keras, bahkan cenderung berupa bisikan.

Aku refleks menoleh dan aku menemukan   pemilik senyum 5 cm  memamerkan senyumnya yang khas. “Duh kenapa pas dihukum kayak gini sih ketemu dia sih.”

“Kenapa Nin?” Dia bertanya dengan suaranya yang hangat dan lembut.

Masih dalam posisi menghormat bendera aku berusaha mencari jawaban terbaik. Jawaban yang tidak memberikan kesan kalau aku adalah seorang yang ceroboh.

“PR Nina tertinggal Pak, makanya Bu Nova marah.”

“Ooow.” Kepala sekolahku itu memberikan jawaban menggantung yang membuat aku merasa kalau jawaban itu mengejekku.

“Nina tau besok-besok harus melakukan apa supaya kejadian ini tidak terulang lagi?”

“Iya Pak, Nina akan berusaha untuk lebih teliti lagi, Nina akan mengurangi sifat Nina yang ceroboh ini.”

“Bagus kalau Nina sudah paham, selalu ada hikmah dalam setiap kejadian yang menimpa kita, dan manusia yang bijak akan selalu mampu mengambil hikmah atas semua kejadian-kejadian itu. Bapak percaya Nina adalah murid yang cerdas, jadi besok jangan sampai bapak lihat Nina berjemur lagi ya.” Pemilik senyum 5 cm itu menasehatiku sekaligus menggodaku.


“Tapi ini panas banget Pak, jadi item dong kulit  Nina, keringetan lagi.” Kukemukakan keluhan dengan suara dan wajah yang kubuat memelas. Aku berharap dengan kapasitasnya sebagai kepala sekolah beliau mau membantuku untuk lepas dari hukuman yang nggak elite ini. Heeeee,  emang ada hukuman yang elite ya, adanya juga dijemur, mungutin sampah, diskors,  mengerjakan tugas, mana ada hukuman yang elit. (Aaahhhh, Nina ngarang banget kamu.)

 “Sebentar lagi istirahat kok, jadi tunggu sampai istirahat ya,  bakalan gagal dong ini program perawatan kulitnya.” Sebelum pergi meninggalkanku di tengah lapangan kepala sekolahku itu masih tetap menggodaku dengan senyum dan candaannya.