Berita
- By Triwiek Yulinawati
- 28 Nov 2024
- 153
BILUR HATI NIENA
Pukul 07.20 ketika aku tiba di kelas, kulihat
teman-teman sedang ramai dengan berbagai pekerjaan mereka. Ada yang ngobrol,
ada yang asyik dengan gadgetnya, ada yang sibuk dengan cermin dan dandanannya,
tapi yang paling banyak kulihat adalah pemandangan teman-teman yang sedang
menekuri buku di depan mereka masing-masing. Aku tau mereka sedang
menyelesaikan tugas dari Bu Nova, guru ekonomi yang memang hobi memberikan PR
yang nggak pernah sedikit itu.
Nggak tau juga guruku yang satu itu, kadang aku berpikir
apa nggak pening harus meriksa tugas anak-anak yang berjibun itu. Itu baru dari kelasku, sedangkan dari kelas yang lain?
Tapi bagaimanapun cara dia mengoreksi pekerjaan kami, yang jelas tiap dibagikan
buku-buku tugas itu, sudah tertempel nilai-nilai dengan rapi. Itu berarti sudah diperiksa dong
pekerjaan kami itu dengan teliti dan seksama. Aaah. mikir guru yang satu itu
bikin pening kepala juga. Yang jelas untuk hari ini aku dalam posisi aman,
sudah dari kemarin-kemarin aku kerjakan tugas itu dibantu oleh Lilis.
Aku berjalan ke arah bangkuku, Emil nampak sibuk dengan
buku dan bolpointnya, dia sama sekali tak memberi respon atas kedatanganku.
“Mil.” Aku mencondongkan badanku ke arah telinganya
sambil berbisik. Emil hanya mengangkat kepalanya sejenak, dan kembali asyik
dengan pekerjaannya.
“Mil!” Kusenggol tangannya dengan sikutku.
“Apaan sih, nggak ngeliat gue lagi ngerjain PR Bu Nova. Emang
elu udahan ya?” Emil menyahut senggolan
tanganku dengan gaya sok Jakarta itu.
“Udah dong, dari kemarin. Aku kerjain sama Lilis!” Aku menjawab dengan
maksud memanas-manasi hati Emil.
“Nyontek dong!” Emil merubah sikapnya setelah tau kabar
baik, kalau aku sudah menyelesaikan PR-ku.
“Nggak boleh, ngerjain sendirilah, emang siapa yang mau
dapat nilai!” Melihat sikapnya yang tiba-tiba berubah aku mencoba menggodanya.
“Pinjem sih, tinggal bagian akhir nih.” Emil tetap ngotot
meminta bantuanku. Mungkin mendengar nama “Lilis” menjadi bagian dalam pengerjaan
PR-ku membuat Emil yakin bahwa pekerjaanku kali ini pasti “Jaminan Mutu Cap
Jempol Empat”.
“Iya, iya, untuk kamu apa sih yang enggak!” Kuputuskan
untuk memberikan bantuan kepada Emil, kubuka tas, kukeluarkan buku ekonomi
tugas, kutarik buku berwarna coklat itu, “Alamak!” Mataku membesar ketika aku
melihat bahwa itu bukan buku ekonomi tapi buku Geografi.
“Jadi....!!”
“Ibu nggak ingin dengar alasan apapun, kamu bilang sudah
mengerjakan PR dari kemarin, sudah ini, sudah itu,
tapi kenyataan mana, kamu nggak bisa tunjukkan pekerjaanmu itukan!”
Pelajaran Bu Nova kali ini aku kembali harus dijemur di
tengah halaman, kalau biasanya banyak teman yang menemaniku, tapi hari ini aku harus sendirian di jemur
menghormat kepada bendera merah putih. Dan ini terjadi karena kecerobohanku
yang tidak teliti ketika memasukkan buku ke dalam tas.
“Aaaah kenapa untuk menjadi baik sangat susah sih!” Aku
merutuk kesialanku. Nggak sekali dua kali aku dihukum karena sifat jelekku itu,
dan ini entah untuk keberapa kalinya. Aku tak mampu lagi untuk menghitung. Aku
lupa mencatatnya, mungkin saking banyaknya.
“Kepada bendera merah putih hormat graaak!” Ada suara di
dekat telingaku dari arah belakang, suara itu tidak begitu keras, bahkan
cenderung berupa bisikan.
Aku refleks menoleh dan aku menemukan pemilik senyum 5 cm memamerkan senyumnya yang khas. “Duh kenapa
pas dihukum kayak gini sih ketemu dia sih.”
“Kenapa Nin?” Dia bertanya dengan suaranya yang hangat
dan lembut.
Masih dalam posisi menghormat bendera aku berusaha
mencari jawaban terbaik. Jawaban yang tidak memberikan kesan kalau aku adalah
seorang yang ceroboh.
“PR Nina tertinggal Pak, makanya Bu Nova marah.”
“Ooow.” Kepala sekolahku itu memberikan jawaban
menggantung yang membuat aku merasa kalau jawaban itu mengejekku.
“Nina tau besok-besok harus melakukan apa supaya kejadian
ini tidak terulang lagi?”
“Iya Pak, Nina akan berusaha untuk lebih teliti lagi,
Nina akan mengurangi sifat Nina yang ceroboh ini.”
“Bagus kalau Nina sudah paham, selalu ada hikmah dalam
setiap kejadian yang menimpa kita, dan manusia yang bijak akan selalu mampu
mengambil hikmah atas semua kejadian-kejadian itu. Bapak percaya Nina adalah
murid yang cerdas, jadi besok jangan sampai bapak lihat Nina berjemur lagi ya.”
Pemilik senyum 5 cm itu menasehatiku sekaligus menggodaku.
“Tapi ini panas banget Pak, jadi item dong kulit Nina, keringetan lagi.” Kukemukakan keluhan
dengan suara dan wajah yang kubuat memelas. Aku berharap dengan kapasitasnya
sebagai kepala sekolah beliau mau membantuku untuk lepas dari hukuman yang
nggak elite ini. Heeeee, emang ada
hukuman yang elite ya, adanya juga dijemur, mungutin sampah, diskors, mengerjakan tugas, mana ada hukuman yang
elit. (Aaahhhh, Nina ngarang banget kamu.)